Minggu, 25 Juli 2010

KALA RAKYAT MELAWAN (Berbincang tentang gerakan sosial)

Salah satu prasyarat demokrasi adalah adanya keseimbangan dalam proses sosial, politik, dan ekonomi. Kekuasaan yang terlampau besar di satu sisi akan mengakibatkan praktik anti-demokrasi di berbagai sektor. Utamanya hal tersebut sering terjadi pada elemen yang memiliki kekuatan legitimasi besar, yaitu negara (state) dan modal (capital). Legitimasi politik yang ada pada negara dan legitimasi ekonomi yang dimiliki oleh para pemilik modal, membuat mereka ingin terus menikmati status-quo dan mendemontrasikan legitimasinya untuk kepentingan mereka an sich. Terlebih jika kedua kekuatan itu berkolaborasi, yang dipastikan akan terjadi adalah penindasan terhadap rakyat. Pada kondisi inilah maka gerakan sosial harus hadir sebagai instrumen utama dalam gerakan demokratisasi dan pembelaan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, gerakan sosial berperan sebagai penyeimbang kekuatan pasar dan kekuatan negara yang lebih banyak tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Kala terjadi ketidakadilan dan penindasan, apapun bentuknya, kala itu juga rakyat melawan. Nah, sebagai bagian dari elemen masyarakat Mahasiswa STAIMA seharusnya juga menjadi kekuatan gerakan sosial itu, terutama dalam wilayah mahasiswa.

Apa itu Gerakan Sosial?
Secara umum gerakan sosial memiliki definisi yang luas karena beragamnya ruang lingkup yang dimilikinya. Giddens (1993) menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama; atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Pengertian yang agar mirip dikemukakan oleh Torrow (1998) yang menempatkan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya. Katika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat, dan digaungkan oleh resonansi kultural dan simbol-simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak-pihak lawan, dan hasilnya adalah gerakan sosial.
Menurut Torrow, tindakan yang mendasari politik perlawanan adalah aksi kolektif yang melawan (contentius collective action). Tindakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembaga atau cepat bubar. Umumnya tindakan kolektif berlangsung dalam institusi ketika orang-orang yang tergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa pertentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang-orang yang kurang memiliki akses ke institusi-institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak-pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan merupakan basis dari gerakan sosial, karena aksi itu seringkali merupakan satu-satunya sumberdaya yang dimiliki oleh orang-orang awam dalam menentang pihak-pihak yang lebih kuat, seperti negara.
Dalam kaitan ini, gerakan sosial perlu dibedakan dengan sejumlah pengorganisasian sosial lainnya. Meskipun berbeda, gerakan sosial dan organisasi formal kadang-kadang memiliki batasan yang kabur, karena banyak gerakan sosial yang berubah menjadi organisasi formal. Sementara itu, sangat jarang organsiasi formal berubah menjadi gerakan sosial. Demikian juga, gerakan sosial juga tidak mudah dibedakan dengan kelompok-kelompok kepentingan (interst groups) –yakni suatu asosiasi yang dibentuk untuk memengaruhi para pembuat kebijakan agar menguntungkan anggota-anggotanya. Contoh kelompok kepentingan ini adalah asosiasi usaha, organisasi profesi dan lain-lain.

Dinamika Gerakan Sosial dalam Rentang Sejarah
Sejarah telah mencatat berbagai kisah perlawanan politik dan gerakan-gerakan penentangan terhadap pemegang kekuasaan yang dianggap otoriter dan represif. Para ahli ilmu sosial umumnya menempatkan fenomena revolusi Perancis pada abad ke-18 sebagai awal dari munculnya gerakan sosial di dunia. Peristiwa-peristiwa sosial serupa berlangsung melintasi abad ke-19 dan abad ke-20 hingga awal abad ke-21 sekarang. Sejumlah faktor perubahan sosial telah melatari sejarah gerakan sosial itu, di antaranya: 1) proses urbanisasi; 2) proses industrialisasi; dan 3) pendidikan massa (mass education).
Para ahli umumnya bersepakat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, variasi, frekuensi dan intensitas gerakan dan perlawanan politik semakin bertambah dan kompleks. Ini antara lain tampak dari munculnya gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, gerakan-gerakan perdamaian, lingkungan, dan feminis, serta perlawanan terhadap otoritarianisme baik di Eropa maupun negara-negara berkembang telah membawa masa ke jalan-jalan untuk menuntut perubahan.
Hal yang sama dilakukan oleh kaum ekstrimisme religius Islam dan Yahudi di negara-negara Timur Tengah, militanisme Hindu di India, fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, serta nasionalisme etnis di Balkan dan bekas Uni Sovyet. Gerakan-gerakan itu sering berhasil, tapi jika pun mereka gagal, aksi-aksi mereka telah memengaruhi perubahan-perubahan politik, kultural, dan bahkan internasional.
Gerakan dan perlawanan politik semacam itu juga terus bermunculan di Indonesia. Dari jejak historis, kita memiliki khasanah dokumentasi tentang pemberontakan petani pada masa kolonial, gerakan nasionalisme pada awal abad ke-20, gerakan demokratiasasi, gerakan fenimisme, dan gerakan lingkungan pada masa Orde Baru hingga kini, serta gerakan “anti-globalisasi” sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang. Kesemua itu telah menimbulkan banyak perubahan berarti di nusantara ini. Tanpa harus melebih-lebihkan, semua itu juga memiliki pertautan baik langsung maupun tidak langsung dengan proses penguatan dan pendewasaan demokrasi yang terus bergulir sejak masa rezim Orde Baru.
Pertautan di atas tampaknya masih akan terus terjadi di masa mendatang. Untuk itu adalah niscaya bagi para pelajar dan aktor pro-demokrasi untuk memahami dan mengikuti dari dekat fenomena tersebut. Dalam upaya memahami dan menjelaskan fenomena tersebut, para ahli ilmu sosial telah mengembangkan khasanah pengetahuan dan wacana yang sangat kaya dan terus berkembang hingga kini. Pada tataran teoretis, hal ini telah melahirkan berbagai teori tentang gerakan sosial. Beberapa di antaranya adalah teori tindakan kolektif (collective action/behavior), teori ‘nilai tambah’ (value added), teori mobilisasi sumberdaya (resourse mobilization), teori proses politik (political process), dan teori gerakan sosial baru (new social movement).
Di luar berbagai deskripsi di atas, urgensi gerakan sosial menjadi semakin jelas apabila kita menyimak kondisi sosial politik yang terjadi di negara-negara transisi seperti Indonesia. Cita-cita perubahan ke arah yang lebih baik tidak bisa semata-mata dibebankan kepada negara sebagai institusi tunggal. Peranan agen-agen gerakan sosial mutlak sangat dibutuhkan untuk melakukan percepatan pertumbuhan demokrasi dan terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan, beradab dan bermartabat. Menyerahkan semua agenda tersebut di atas kepada negara, sama halnya meneruskan kebodohan masa silam yang seharusnya tidak boleh terulang.
Di samping urgensi di atas, gerakan sosial juga mempunyai fungsi untuk melakukan kontrol terhadap ketimpangan sosial yang sengaja maupun tidak, terjadi dan berkembang pesat akibat negara yang abai terhadap masa depan rakyatnya. Fenomena kemiskinan yang berimbas pada kelaparan massal, kekerasan dan kerusuhan, serta berbagai persoalan lainnya, menuntut peran organisasi pelopor gerakan untuk serius ikut memikirkan bagaimana solusi yang seharusnya ditempuh.
Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa gerakan sosial memiliki karateristik yang bersifat non-partisan. Motor pelaju gerakan sosial pada umumnya banyak didominasi oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang lahir sebagai bentuk protes terhadap kebijakan penguasa.

Strategi Gerakan Sosial
Dalam melakukan tugasnya, para aktor gerakan sosial menggunakan beragam strategi. Namun strategi-strategi gerakan sosial itu tidak mandek, melainkan selalu berkembang secara kreatif sesuai dengan kultur dan konteks sosial politik yang muncul di suatu daerah. Pemahaman demikian harus terlebih dahulu disadari oleh seyiap pelaku atau aktor penggerak perubahan sosial sebelum ia memutuskan bekerja dalam dunia gerakan. Namun demikian bukan berarti keberadaan teori-teori gerakan sosial lantas menjadi tidak berguna begitu saja. Ia masih dibutuhkan dalam upaya mengasah nalar kreatif aktor gerakan sosial agar lebih cakap dan handal dalam mengoperasikan kebutuhan-kebutuhan gerakan sosial di lapangan.
Menurut Suharko (2006), terdapat begitu banyak strategi atau taktik gerakan sosial yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan gerakan sosial. Strategi yang dipilih biasanya didasarkan atas penilaian terhadap konteks atau setting politik tertentu, pertimbangan pihak lawan yang dihadapi, isu yang dibidik, serta kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi gerakan sosial. Variasi model dan pilihan inilah yang harus dikembangkan di tingkat praktis agar operasinya berjalan sesuai dengan harapan.
Setidaknya ada empat variasi strategi yang memuat garis besar pengertian dan kaidah umum strategi gerakan sosial. Pertama, Low Profile Strategy. Strategi ini merupakan strategi ‘isolasi politik’ yang secara khusus sesuai dengan konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari kooptasi dari pemegang kekuasaan yang otoritarian. Dalam hal ini, aktor gerakan sosial secara sadar memutuskan untuk mengosilasi diri atau menghindari hubungan dengan agen-agen negara.
Kedua, Strategi Pelapisan (layering). Strategi ini sangat sesuai untuk organisasi gerakan sosial yang beroperasi di negara-negara yang membatasi aktifitas otonom di luar pemerintah. Pelapisan adalah pengembangan penyediaan pelayanan yang berorientasi kesejahteraan yang sebenarnya berisikan metode dan aktivitas yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi sosial. Dengan melakukan strategi ini, organisasi gerakan sosial bisa menghindarkan diri dari aksi dan intervensi langsung pihak-pihak lawan.
Ketiga, Strategi Advokasi. Strategi ini seringkali digunakan untuk mendesakkan perubahan-perubahan sosial, seperti mereformasi tata pemerintahan yang demokratis, melindungi sumberdaya alam atau lingkungan, memajukan pembangunan berkelanjutan, menciptakan dan memelihara perdamaian di daerah-daerah rawan konflik, dan sebagainya. Strategi advokasi akan efektif untuk memaksakan perubahan kebijakan pemerintah.
Keempat, Keterlibatan Kritis (critical angagement). Strategi ini dilakukan dengan mengkombinasikan strategi advokasi dengan strategi kerjasama ketika menghadapi pemerintah atau agen-agen negara lainnya.

Tidak ada komentar: